Friday, February 15, 2013

Pada akhirnya hanya ada kekecewaan


[Jess]

Diriku terdiam sejenak. Mencoba mencerna perkataannya, mencoba menyusun kembali ucapannya. Aku terdiam, mencari dimana letak kesalahanku, kesalahanku pada dirinya. Menit demi menit semalam kususun kembali dengan seksama, mencari kesalahanku, kesalahanku..

Sejahat itu kah diriku? sebengis itu kah diriku hingga kau pergi begitu saja. Pergi begitu saja, tanpa ucapan. Diriku tersentak di dalam hati. Tak tahu harus berkata apa, tak tahu harus apa..

Aku mencoba merangkai kata, mencoba mengungkapkannya, namun hanya gumaman aneh yang keluar dari mulutku. Apakah ini pembalasan atas dosaku? atau ini hanya cobaan menuju kemenangan lebih indah? hati ku tetap beku -tak bisa merasa-.

Aku kembali mencoba menyusun diriku, menyusun kembali usahaku, menyusun kembali ingatanku, menyusun kembali hatiku. Mungkin orang berkata apa yang kulakukan ini penuh dengan kebodohan, kegilaan. Aku tak peduli, bagiku ini hanya pancaran yang keluar dari hati, hati terdalam. -kepedulian-

Dosakah aku bila tetap diam? dosa kah bila aku marah? aku tidak menyalahkanmu, aku hanya merasa bersalah pada harapanku. Harapan yang terlalu tinggi, bahkan jauh di atas angan-angan hati.

Kulirik hujan yang menerpa di luar sana. Kutatap langit yang kelam. Sekelam hati dan harapanku.

Nafasku kian sesak, kian terhenti.

Apa sesungguhnya salahku?

Harapan di hati meneteskan air mata. Berkata bahwa segalanya salah dirimu. Aku dengan senyum lirihku menenangkan dan merangkul harapanku, , mencoba menenangkannya walaupun aku tau itu percuma. Harapan menyeka air matanya, terisak dalam diamnya. Aku tak tahu harus berbuat apa, kuhapus air mata harapan, kurangkul dirinya. Aku tetap terdiam.

Kugenggam tangan sang harapan. Kugenggam kian erat, seketika aku menyadari goresan-goresan di tubuhnya. goresan-goresan luka. Ku tatap sekujur tubuhnya, penuh dengan luka. Kusentuh dengan lembut setiap centi dari lukanya itu, harapan menjerit, terisak lebih dalam. Ku ingin membasuh lukanya dengan air. Ku cari segala air yang ada di sekitarku, namun yang ada hanya air kepedihan, air kekecewan, air kesedihan. Ku coba untuk membalut luka sang harapan dengan tawa dan senyumku. Harapan bergeming. Tetap meneteskan air mata.

Apa sesungguhnya salahku?

Kepercayaan di hati diam penuh arti. Diam penuh arti kesedihan. Aku tak kuasa melirik ke matanya, ku lihat sejenak tatapan yang dalam di matanya. Kepercayaan bimbang, letih, sakit. Kepercayaan duduk dan mendekap tangannya di pojok hati. Terdiam, terpana. Kepercayaan melirik ke arahku, lirikan menuduh, lirikan menusuk. Aku mencoba tersenyum lembut, tersenyum lirih. Aku duduk dan merangkul kepercayaan, kepercayaan menepis tanganku, membuaang muka. Kepercayaan terrhina.

Aku menyentuh pipi sang kepercayaan, menatap matanya dalam-dalam mencoba untuk mensugesti kepercayaan. Kepercayaan bangkit dari kursinya, mendorong tubuh ke hingga aku terpana. Kepercayaan melempar botol botol cerita. Botol-botol itu hancur menjadi butiran debu. Kepercayaan memukul kepalanya, menghujamkan kepalanya ke dinding di sampingnya, harapan sejenak ingin mencoba menghentikannya. Harapan hanya diam.

Apa sesungguhnya salahku?

Kenangan di dalam hati tertunduk lemas. Kenangan di dalam hati tak kuasa untuk berdiri. Aku menawarkan sebuah roti kepada kenangan. Roti kepedihan. Kulihat nafas sang kenangan terengah-engah, kenangan tidak akan pernah mati. I know that very well. Kenangan hanya bisa terluka, terluka dengan penuh. Penuh keterlukaan. Kenangan tidak akan pernah mati, kenangan akan menderita selamanya, kenangan yang terluka, dengan luka yang tidak ada obatnya. Terkadang kenangan benar-benar ingin mati dari pada hidup dengan seluruh rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Apa sesungguhnya salahku?

Pengorbanan menendang dinding dinding harapan. Pengorbanan marah, sinis. Aku bergeming melihat tingkahnya, ingin rasanya aku menghentikan ulahnya. Aku tahu pengorbanan akan melukai sang harapan. Tapi aku tetap diam, aku tak sanggup menghentikan pengorbanan. Wajar jika pengorbanan begitu marah. Wajar jika pengorbanan merasa ditiadakan. Aku memegang tangan kanan pengorbanan. Kulirik telapak tangannya, kupegang erat tangannya dengan kedua tanganku. Darah

Apa sesungguhnya salahku?

Kasih sayang bimbang. Aku melihat senyum kecut di bibirnya. Kasih sayang tidak bergerak. Seolah semua hal ini telah membekukannya. Aku sedikit mendorong tangan kasih sayang. Dingin. Kasih sayang tidak bergeming. Kubeli rambutnya yang lembut, namun hanya helaian sedingin es yang kurasakan. Kasih sayang membeku, lama kelamaan cercah merah dipipinya hilang. Kulitnya yang lembut kian dilapisi es. Kulitnya yang halus kini sekeras batu.
Aku marah, marah pada diriku. Aku marah dengan apa yang terjadi dengan kasih sayang. Kasih sayang adalah kesayanganku. Aku tak mau kehilangan dirinya. Aku mengguncang-guncang kan tubuh kasih sayang, berharap bisa mengembalikannya. Aku menghapus tetesan tetesan es dari tubuhnya. Kasih sayang membeku..

Apa sesungguhnya salahku?

Ketulusan tiba tiba memasuki ruang ini. Ketulusan datang dengan senyuman yang indah, ketulusan datang dengan membawa anugrah. Ketulusan memancarkan sinar dari tubuhnya, ia menyentuhkan tangannya ke punggung kasih sayang. Lama kelamaan es di tubuh kasih sayang meleleh. Aku segera mengangkat tubuh kasih sayang ke kursi di tengah ruangan. Ketulusan menghampiriku, tersenyum padaku.
Ketulusan memancarkan air dari ujung jarinya, air bening nan hangat. Aku menadahkan kedua tanganku, menggapai tetes-tetes air dari ujung jarinya. Aku segera membasuh harapan dengan air suci tadi. Kubelai dahinya dengan lembut, kupercikkan air itu ke sekujur tubuh harapan. Luka-luka di tubuh harapan menghilang, harapan kian membaik. Terobati oleh air ketulusan

Detik demi detik ketulusan menyembuhkan semuanya. Ketulusan mengobati segala luka. Aku diam sejenak melihat kedamaian ini. Melihat ketulusan mengobati semuanya.

Semuanya kembali seperti biasa, kembali seperti semula. Namun sejenak ada rasa yang berbeda disini. Aku merasa gundah, aku merasa ada sesuatu yang tidak seharusnya  ada disini..

Kulihat di sudut kiriku berdiri kekecewaan. Aku tahu dia tidak ada disana, dia memang harusnya tidak ada disana. Kudorong kekecewaan sekuat tenaga, kuhempaskan tubuhku untuk mengusirnya. Namun kekecewaan tidak bergerak sama sekali. Aku melirik kepada ketulusan meminta bantuan. Ketulusan menggelengkan kepala, ketulusan tak bisa mengusir kekecewaan. Ketulusan tetap duduk di tengah ruangan. selagi merangkul harapan. Aku tak bisa berbuat apa-apa, kekecewaan tetap tak bergerak, tetap berdiri diruangan ini..

Pada akhirnya hanya ada kekecewaan

P.S : :( 

No comments:

Post a Comment